Kamis, 09 Februari 2012

Love On Sixteen (Part 1)

Love On Sixteen

“TAYLOR,  WAKE UP!!!!!  Apa kau ingin terlambat ke sekolah??”
“Yeah mom, five minutes..” Teriak ku lirih pada ibu ku.
***
Yeah, beginilah rutinitasku hampir setiap pagi, mimpi – mimpiku yang indah pasti akan terusik setiap kali ibu tiriku berteriak membangunkan ku. Damn, aku benci tempat ini, aku benci ibu tiriku dan aku benci diriku sendiri.
Eits, tapi jangan pernah berpikir bahwa ibu tiriku adalah seorang  yang kejam, aku membencinya hanya karena dia selalu merusak mimpi – mimpi indahku.  Ibu tiriku adalah seorang wanita yang baik, sangat baik malah karena dia mau merawatku sejak  bayi, walaupun ayahku sudah meninggal ketika aku berusia 15 tahun, tapi dia tetap mau mengasuhku. Sementara ibu kandungku sendiri pergi entah kemana,  ah.. aku tak peduli dengan wanita itu.
Oke,kembali  ke ibu tiriku, walaupun dia sangat baik tapi dia sangat disiplin dan hal itu kadang membuatku sangat tidak betah berada di rumah.
Aku rasa cukup tentang ibu tiriku, sekarang biarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Taylor Stewart, aku tiggal di kota yang lumayan besar, Los Angeles.  Aku tinggal bersama ibu dan adikku Daniel di rumah peninggalan ayahku yang sederhana. Aku juga bersekolah di SMA yang keren, James Blonde High Scool (JBHS). Oke, cukup sampai di situ perkenalannya. Selanjutnya baca saja cerita ini, jika meang kau beminat.
***
“Morning mom.” Sapaku pada ibuku yang sedang mengoleskan mentega pada roti bakarnya.
“Ku kira kau tidak akan pernah bangun, malah aku hampir menghubungi ICU karena ku pikir kau sudah sekarat.”
Aku tidak menanggapi kalimat sinis ibuku, karena kalau ditanggapi omongannya akan lebih panjang dan bisa – bisa aku terlambat ke sekolah demi mendengar celotehannya.
“Oh ya mom, mana Daniel??”
“Dia sudah berangkat dari tadi, semenjak kau masih sibuk dengan selimutmu.” Lagi – lagi kata – kata sinis yang keluar dari mulutnya.
Lebih baik aku segera berangkat ke sekolah, daripada harus mendengar celotehannya, segera ku jejalkan roti bakar ke dalam mulutku dan langsung ku minum susu dalam satu tegukan.
“Aku berangkat dulu mom, bye” Pamitku sambil mencium pipi ibu tiriku.
***
“TAYLOR!!!!!” Seseorang berteriak sangat keras ke arahku saat aku sedang merapikan rambutku di lokerku, ya ampun sudah dua kali aku mendengar teriakan hari ini, yang pertama ibuku, dan kedua Nessie sahabatku semenjak SMP. Aku rasa tidak lama lagi aku harus memakai alat bantu dengar.
“Ya tuhan Nessie, apakah kau  harus berteriak sekeras itu? Aku belum tuli”
“Hehehe.. maaf, tapi kau harus mendengarkan ini. Semalam aku berkencan dengan Sam. SAM!! Kau percaya itu, aku rasa mimpiku jadi kenyataan.”
“Wow, ku rasa sudah ada kemajuan dalam hubungan kalian, jadi siapa yang mengajak, kau atau dia?”
“Sam tentu saja, dan kau harus tau dia itu begitu romantis. Aku sampai hampir pingsan di buatnya ketika dia mengatakan kalau dia cinta padaku.. Oh..” Ceritanya dihentikan hanya untuk membuat desahan agar ceritanya lebih terdengar dramatis, khas Nessie. Aku hanya memutar bola mataku saat dia bertingkah seperti itu.
“So, kalian sudah jadian?? Selamat, kau harus segera mentraktirku..”
“Yeah, tenang.. Tapi, kapan kau akan pacaran?? Usiamu, sudah 15 tahun dan 5 bulan lagi sweet sixteenmu.”
Aku agak terkejut ketika Nessie bertanya demikian, yeah selama ini aku belum pernah pacaran tapi kalau orang yang ditaksir tentu saja ada. Namanya Scotty Bradley, teman – temannya biasa memannggilnya Scott. Tapi aku lebih suka memanggil Scotty kedengarannya lebih imut. Hehehe..
Scotty adalah kapten basket di sekolah kami, orangnya sangat tampan rambutnya pirang dan matanya yang berwarna  sebiru lautlah yang selalu membuat jantungku berhenti berdetak setiap kali menatapnya. Tapi masalahnya aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan perasaanku padanya, dan dia juga sudah punya pacar. Pacarnya bernama Jessica, gadis paling cantik di sekolah, anggota cheers dan juga model freelance. Dia sudah pernah menjadi covergirl beberapa majalah, walaupun bukan majalahyang cukup terkenal. Tapi jangan perrnah berpikir bahwa Jessica adalah gadis cantik tolol yang hanya peduli pada penampilannya saja, dia juga sangat pintar. Sudah dua tahun berturut – turut ini dia menjadi  juara kelas dan dia sangat baik hati. Aku bisa tahu semua ini karena aku memang sekelas dengan Jessica sejak kelas X. Intinya dia benar – benar gadis yang sempurna. Scotty memang pantas mendapatkannya. Ku rasa harapanku untuk menjadi pacar Scotty tidak akan pernah terwujud, sama seperti orang – orang yang berharap agar bisa menemukan obat untuk penyakit AIDS.
“Hei, apa kau masih di sini???” Tegur Nessie sambil melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Eh, eh.. apa, apa???” Aku benar – benar blank, apa ya yang sedang kami bicarakan tadi?
“Aku bertanya, kapan kau akan pacaran?” Jawab Nesssie sambil memutar bola matanya.
“Oh itu, mmm.... aku belum menemukan yang cocok saja.”
“Tapi Tay..” Kriiiiingggggggg.
Tiba – tiba bel berbunyi dengan nyaring, tanda pelajaran akan segera dimulai.
“Well, bel sudah berbunyi, sebaiknya kita masuk ke kelas.” Elakku pada Nessie.
Hufft, kali ini aku selamat dari topik pembicaraan yang paling aku benci.

***
Kimia, pelajaran yang cukup mennyusahkan, apalagi  yang mengajarkannya adalah Mrs. Moore guru yang paling membosankan di sekolahku. Mrs. Moore mungkin bukanlah guru yang killer, tapi dia suka memberikan tugas yang banyak, sedangkan yang dilakukannya di kelas hanyalah ceramah dan ceramah tidak peduli muridnya mengerti atau tidak. Tapi terkadang ketidakpedulianya ini menjadi keuntungann sendiri bagi murid – murid yanng malas. Sekarang saja sudah ada beberapa murid yang duduk di sudut atau paling belakang sedang asyik dengan mimpinya. Bahkan Stanley sampai meneteskan liurnya ke meja, yuck... benar – benar menjijikkan.
Aku melirik ke arah Jessica yang duduk tepat di sampingku. Dia terlihat sangat serius mengikuti pelajaran, tidak pernah terlihat raut bosan di wajahnya atau desahan kesal seperti yang selalu dilakukan Nessie yang memang sebangku denganku. Bagaimana bisa ada orang yang sempurna seperti dirinya, dia cantik, pintar, baik hati dan pastinya sangat kaya raya.
“ Oh.. Sudahlah, berhentilah untuk iri Taylor.”  Runtukku dalam hati, pada diriku sendiri.
Sepertinya aku cukup lama memperhatikan Jessica, dan sepertinya dia mulai sadar kalau dirinya sedang diperhatikan. Dia menyunggingkan senyumnya sambil menunjukkan raut wajah aneh padaku, aku membalasnya dan langsung mengalihkan perhatianku pada Mrs. Moore.
“Sampai kapan kita harus terus mendekam di sini??” Keluh Nessie, yang sudah kesal sejak kelas dimulai.
“Sudahlah Ness, 15 menit lagikan isirahat..” Aku sudah capek mendengar keluhannya, seakan hanya dia saja yang harus terjebak dalam situasi seperti ini.
***
“Kriingggggg...” Bel tanda istirahat telah berbunyi.
“Ah.. akhirnyaaaa. Tay mau ikut ke kantin?” Tawar Nessie padaku.
“Kau duluan saja, aku masih harus ke perpus.”
“Oh, come on Tay berhentilah menjadi kutu buku..”
“Aku hanya ingin mengembalikan buku yang ku pinjam kemarin.”
“Oke, kalau gitu aku duluan, segera ke kantin kalau urusanmu sudah selesai.”
“Oke” Jawabku dan segera bergegas menuju perpustakaan di lantai tiga.
Aku beruntung, lift untuk menuju lantai tiga tidak terlalu penuh hari ini. Jadi aku tidak harus berdesak – desakan diruangan berukuran 3 x 3 meter tersebut. Kalau tidak asmaku bisa kambuh lagi.
Mrs. Swan, penjaga perpustakaan terlihat sedang sibuk degan PC-nya saat aku menghampiri mejanya.
“Excuseme miss, aku ingin mengembalikan buku ini.” Kataku sambil memperlihatkan kartu anggota perpustakaan.
“Atas nama siapa?” Tanyanya tanpa sedikitpun mendongak dari monitornya.
“Taylor Stewart, judul buku Rose Under  the Stone.”
“Okey miss Stewart, kau boleh menaruh kembali buku itu ke lemari dan ambil kembali kartumu.” Katanya tetap tanpa mengalihkan pandangannya dari layar monitornya.
Aku tidak mau berlama – lama di meja ini, dan langsung menuju lemari penyimpanan untuk menaruh kembali buku yang ku pinjam.
***
“Hei, kau Taylorkan?” Seseorang menyapaku saat aku sedang sibuk mengobrak – abrik buku – buku yang rencananya akan ku pinjam hari ini.
Aku mencoba menoleh, dan seorang cowok yang lumayan cute berdiri tepat di sampingku.
“Um.. Hi, iya aku Taylor, apa aku mengenalmu?” Aku mencoba tersenyum seramah mungkin.  Benar – benar kontras dengan ucapanku yang terkesan sombong.
“Kau mungkin tidak mengenalku, tapi aku cukup mengenalmu. Namaku Edward, Edward Jhonson.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
Ya tuhan, senyumnya benar – benar memikat. Sepertinya aku mulai melupakan perasaanku pada Scotty. Cukup Tay, jangan berpikir yang macam – macam, Scotty tetaplah pangeranmu, pangeran yang tak akan pernah bisa kau miliki.
“Oh, well Edward senang berkenalan denganmu.” Aku membalas uluran tangannya dan sekali lagi senyumnya itu, aku serasa mau pingsan. Apakah ini yang di sebut cinta pada pandangan pertama? Oh, bagus, aku mulai hiperbolis. Sepertinya bersahabat dengan Nessie membuat sifatnya menular padaku.
“The Sun and The Ocean ya??”
“Huh, apa??” Aku tak mengerti apa yang diucapkkannya.
“Buku yang kau pegang itu, kau suka mebaca buku tersebut?”
“Oh iya, iya..” Aku baru mulai tanggap. “Bukunya bagus, ceritanya tentang seorang gadis yatim piatu yang mencoba bertahan hidup  di tengah kejamnya perang dunia I. Sampai akhirnya dia menikah dengan seorang pria yang dicintainya tapi sayangnya pria tersebut tidak pernah mencitainya dan berselingkuh dengan wanita lain, hingga kemudian dia memutuskan untuk tidak percaya lagi pada cinta mengabdikan diri pada rakyat degan membantu kkorban perang.”
“Waw, sepertinya kau hafal betul buku itu.”
“Yeah, aku telah membacanya 5 kali.”
“Lima kali?? Jadi sekarang kali ke enam??” Tanyanya seakan tak percaya.
“Well, aku tak pernah bosan pada buku ini, aku merasa tokoh Rossetta itu mirip dengan ku.”  Jawabku apa adanya.
“Apakah kau juga tipe orang yang tidak percaya pada cinta?”
“Huh?? Tentu saja aku percaya, hanya beberapa bagian saja yang mebuatkiu merasa kalau aku mirip dengannya.”
“Oooh..” Gumamnya sambil mebulatkan mulutnya membentuk huruf ‘o’. Dia terlihat makin cute saat bertingkah sepeti itu.
Ya ampun, Nessie. Bukankah tadi aku berjanji akan ke kantin dengannya? Aku harus segera pergi, walaupun sebenarnya enggan.
“Well Edward, sepertinya aku harus segera pergi temanku pasti sudah marah – marah menungguku di kantin saat ini.”
“Oke baiklah, ku harap kita bisa ngobrol lagi kapan – kapan.”
“Yeah, akupun begitu. Senang bertemu denganmu Ed.” Pamitku padanya sambil tersenyum.
***