Pocut
Meurah Intan
Oleh M.
Adril Septian
Lhoknga, 12 Mei 2012
Bismillahirrahmanirrahim, penulis
sangat bersyukur kepada Allah swt, karena masih diberikan kesehatan sehingga
masih dapat menulis sebuah tulisan yang sangat jelek ini.
Pada kesempatan ini penulis mencoba untuk
mengulas tentang kehidupan seorang perempuan Aceh yang terkenal sangat gigih dalam
memperjuangkan tanah airnya dari penjajah. Beliau adalah Pocut Meurah Intan,
mungkin namanya tidak sepopuler Cut Nyak Dhien, bahkan masih banyak rakyat Aceh
sendiri yang tidak mengenal siapa itu Pocut Meurah Intan. Padahal jika dilihat
dari perjuangannya beliau sama hebatnya dengan Cut Nyak Dhien.
Karena itu penulis mencoba untuk mengangkat
kembali nama Pocut Meurah Intan kedalam tulisannya, agar jasanya tidak
terlupakan dan generasi-generasi penerus
Indonesia dan Aceh khususnya dapat mengenal kembali pahlawannya karena
ini merupakan satu hal yang paling membanggakan bagi rakyat Aceh.
Akhir kata, penulis mengucapkan selamat membaca
dan semoga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Latar Belakang
Lahir
dari keluarga bangsawan, dan sebagai ibu tiri dari Permaisuri Sultan Alaidin
Muhmmad Daud Syah (Sultan terakhir kerajaan Aceh), tidak serta merta membuat
seorang Pocut Meurah Intan menjadi perempuan yang lemah dan manja. Seluruh
hidupnya hanya didedikasikan untuk mengusir “kaphee” (istilah untuk penjajah
dalam bahasa Aceh) dari tanah serambi Mekkah. Beliau merupakan seorang pejuang
yang paling anti dengan pejajah. Bahkan beliau berani menuntut cerai suaminya
karena menyerahkan diri kepada Belanda dan bersumpah akan membunuh semua rakyat
yang menyerah kepada Belanda.
Pocut
Meurah Intan adalah seorang putri bangsawan keturunan kerajaan Aceh. Ayahnya,
Keujruen Biheu merupakan keturunan dari Pocut Bantan. Pada masa kesultanan
dulu, Aceh dibagi dalam beberapa wilayah administratif yang disebut ulee
balang. Biheu merupakan sebuah ke-ulee balangan yang berada pada Sagi XXXI
Mukim, Aceh Besar.
Keluarga
Setelah
dewasa Pocut Meurah Intan kemudian menikah dengan Tuanku abdul majid yang
merupakan cucu dari Sultan Alaidin Jauhar
Syah Alam yang memerintah Aceh selama 28 tahun. Dari pernikahannya,
Pocut Meurah Intan memperoleh 3 orang putra yaitu Tuanku Muhammad Bantee,
Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin. Ketiga putranya merupakan pahlawan perang Aceh
yang ikut berjuang bersamanya dalam mengusir penjajah.
Perlawanan Terhadap Belanda
Belanda
mencatat bahawa Pocut Meurah Intan merupakan salah satu figur yang paling anti
terhadap Belanda. Dalam catatan kolonial Verslaag tahun 1904-1905 disebutkan
bahwa satu-satunya keluarga istana yang belum menyerah terhadap Belanda adalah Pocut Meurah Intan.
Menyerahnya
suaminya kepada Belanda merupakan suatu pukulan besar baginya, karena
sebelumnya suaminya juga merupakan seorang yang sangat anti Belanda. Bahkan
penulis Belanda sendiri menyebut Tuanku Abdul Majid sebagai “perompak laut”
karena sering menyerang kapal-kapal Belanda yang masuk kedaerah perairannya.
Tuanku Abdul Majid merupakan seorang petugas bea cukai di pelabuhan Kuala
Batee.
Karena
komitmennya sebagai seorang anti Belanda, Pocut Meurah Intan kemudian menuntut cerai suaminya, dan melanjutkan perlawanan
bersama putra-putranya. Dua diantara putranya yaitu Tuanku Muhammad Bantee dan
Tuanku Nurdin menjadi terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Februari
1900 putranya Tuanku Muhammad Bantee, tertangkap oleh tentara Marsose, di
daerah Padang Tiji, Pidie. Tuanku Muhammad bantee kemuadian dibuang ke Tondano,
Sulawesi Utara.
Ia dan
kedua putranya yang lain juga tertangkap oleh Belanda di daerah yang sama,
namun masih sempat melakukan perlawanan yang mengejutkan pihak lawan.
H.C.
Zentgraaff seorang wartawan dan pengarang terkenal asal Belanda menulis dalam
dalam bukunya yang berjudul ATJEH, berikut kutipannya :
"Veltman
yang terkenal dengan sebutan Tuan Pedoman, seorang perwira yang baik hati,
pernah mengenal seorang wanita Aceh turunan bangsawan, namanya Pocut Meurah
Intan. Wanita itu disangka menyembunyikan sebilah keiewang di dalam lipatan
kainnya. Tiba-tiba ia mencabut rencongnya dan dengan meneriakkan : "Kalau
begitu biarlah aku mati syahid' iapun menyerbu brigade. Anggota-anggota pasukan
nampaknya kurang bemafsu untuk bertempur dengan seorang wanita yang berlaku
sebagai singa betina, yang menikam kekiri dan kekanan, dan sebentar kemudian wanita
itupun jatuh terbaring di tanah ". "Ia mengalami luka-luka parah; ia
memperoleh dua buah tatakan di kepalanya dan dua buah di bahunya,
sedang salah satu urat keningnya putus. Ia
terbaring di tanah, penuh dengan darah
dan lumpurlaksana setumpuk daging
yang dicencang-cencang. Seorang sersan yang
melihatnya, dengan perasaan penuh belas kasihan
berkata kepada komandannya : Bolehkah saya
meiepaskan tembakan pelepas nyawanya?,
yang dibentak Veltman dengan:
Apa kau sudah gila? Lalu pasukan meneruskan
perjalanannya. Mereka menginginkan agar wanita
itu meninggal di tangan
bangsanya sendiri". Beberapa hari telah
berlalu, ketika Veltman berjalan-jalan di kedai Biheu (dekat Padangtiji) disana
ia mendengar bahwa Pocut Meurah Intan bukan saja masih hidup, tetapi bahkan ia mempunyai
rencana hendak membunuh penduduk kampung yang telah menyerah kepada
Belanda.
Untuk mengetahui hal itu yang sebenarnya, Veltman memerintahkan untuk
menggeledah rumah-rumah di kampung. Setelah dicari dalam setiap rumah dalam
arti
kata
yang sebenarnya, ditemuilah wanita itu tubuhnya dibalut dengan bermacam-macam
kain dan kelihatannya menyedihkan sekali. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk
kotoran sapi. Keadaannya lemah sebab banyak kehilangan darah dan tubuhnya
menggigil;
ia
mengerang karena kesakitan. Walaupun begitu ia tetap menolak bantuan dokter, lebih
baik mati daripada tubuhnya dijamah seorang "khapee". Veltman yang
sangat pasih berbahasa Aceh, lama berbicara dengan wanita itu dengan cara yang amat
hormat, sesuai dengan kedudukannya. Akhirnya
ia menerima juga bantuan serdadu itu yang ditolaknya
dari seorang dokter. Orang-orang Aceh sangat sportif;
serdadu-serdadu dari semua negara dan keturunan
dapat sama-sama harga-menghargai, wanita itu
membiarkan
dirinya
dirawat oleh Veltman, dia membersihkan luka-lukanya yang berulat, kemudian
membalutnya baik-baik ".
Setelah
sembuh dari lukanya, kondisi tubuhnya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ia bersama
putranya Tuanku Budiman kemudian dimasukkan ke penjara. Sementara, Tuanku
Nurdin tetap melanjutkan perlawanan seorang diri, hingga kemudian tertangkap
oleh Belanda.
Pada
tanggal 06 Mei 1905 beliau bersama putranya Tuanku Nurdin dan pembantunya Pang
Mahmud dibuang ke Blora, Jawa Tengah tepatnya di desa Tegal Sari. Dan pada
tanggal 28 September 1937 beliau menghembuskan nafas terakhirnya di tempat yang
jauh dari tanah kelahirannya. Innalillahi wa innalillahirajiun.
Demikianlah
secuil ulasan tentang kehidupan Pocut Meurah Intan, semoga bermanfaat bagi para
pembaca. Penulis juga masih mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
karena penulis sendiri sadar bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat
kekurangan, baik dari sumber maupun dari segi penulisannya. Karena kesempurnaan
hanya milik Allah swt, dan kekurangan adalah milik kita manusia. Wassalam.
Dari
berbagai sumber
Penulis
adalah seorang mahasiswa di FKIP Sejarah Universitas Syiah Kuala
Keren, Kreatif, pokoknya bagus. .
BalasHapusTerimakasih.. :)
Hapus