Minggu, 13 Mei 2012

Pocut Meurah Intan


Pocut Meurah Intan
Oleh M. Adril Septian
Lhoknga, 12 Mei 2012
Bismillahirrahmanirrahim, penulis sangat bersyukur kepada Allah swt, karena masih diberikan kesehatan sehingga masih dapat menulis sebuah tulisan yang sangat jelek ini.
Pada kesempatan ini penulis mencoba untuk mengulas tentang kehidupan seorang perempuan Aceh yang terkenal sangat gigih dalam memperjuangkan tanah airnya dari penjajah. Beliau adalah Pocut Meurah Intan, mungkin namanya tidak sepopuler Cut Nyak Dhien, bahkan masih banyak rakyat Aceh sendiri yang tidak mengenal siapa itu Pocut Meurah Intan. Padahal jika dilihat dari perjuangannya beliau sama hebatnya dengan Cut Nyak Dhien.
Karena itu penulis mencoba untuk mengangkat kembali nama Pocut Meurah Intan kedalam tulisannya, agar jasanya tidak terlupakan dan generasi-generasi penerus  Indonesia dan Aceh khususnya dapat mengenal kembali pahlawannya karena ini merupakan satu hal yang paling membanggakan bagi rakyat Aceh.
Akhir kata, penulis mengucapkan selamat membaca dan semoga dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Latar Belakang
Lahir dari keluarga bangsawan, dan sebagai ibu tiri dari Permaisuri Sultan Alaidin Muhmmad Daud Syah (Sultan terakhir kerajaan Aceh), tidak serta merta membuat seorang Pocut Meurah Intan menjadi perempuan yang lemah dan manja. Seluruh hidupnya hanya didedikasikan untuk mengusir “kaphee” (istilah untuk penjajah dalam bahasa Aceh) dari tanah serambi Mekkah. Beliau merupakan seorang pejuang yang paling anti dengan pejajah. Bahkan beliau berani menuntut cerai suaminya karena menyerahkan diri kepada Belanda dan bersumpah akan membunuh semua rakyat yang  menyerah kepada Belanda.
Pocut Meurah Intan adalah seorang putri bangsawan keturunan kerajaan Aceh. Ayahnya, Keujruen Biheu merupakan keturunan dari Pocut Bantan. Pada masa kesultanan dulu, Aceh dibagi dalam beberapa wilayah administratif yang disebut ulee balang. Biheu merupakan sebuah ke-ulee balangan yang berada pada Sagi XXXI Mukim, Aceh Besar.
Keluarga
Setelah dewasa Pocut Meurah Intan kemudian menikah dengan Tuanku abdul majid yang merupakan cucu dari Sultan Alaidin Jauhar  Syah Alam yang memerintah Aceh selama 28 tahun. Dari pernikahannya, Pocut Meurah Intan memperoleh 3 orang putra yaitu Tuanku Muhammad Bantee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin. Ketiga putranya merupakan pahlawan perang Aceh yang ikut berjuang bersamanya dalam mengusir penjajah.

Perlawanan Terhadap Belanda
Belanda mencatat bahawa Pocut Meurah Intan merupakan salah satu figur yang paling anti terhadap Belanda. Dalam catatan kolonial Verslaag tahun 1904-1905 disebutkan bahwa satu-satunya keluarga istana yang belum menyerah terhadap Belanda  adalah Pocut Meurah Intan.
Menyerahnya suaminya kepada Belanda merupakan suatu pukulan besar baginya, karena sebelumnya suaminya juga merupakan seorang yang sangat anti Belanda. Bahkan penulis Belanda sendiri menyebut Tuanku Abdul Majid sebagai “perompak laut” karena sering menyerang kapal-kapal Belanda yang masuk kedaerah perairannya. Tuanku Abdul Majid merupakan seorang petugas bea cukai di pelabuhan Kuala Batee.
Karena komitmennya sebagai seorang anti Belanda, Pocut Meurah Intan kemudian menuntut  cerai suaminya, dan melanjutkan perlawanan bersama putra-putranya. Dua diantara putranya yaitu Tuanku Muhammad Bantee dan Tuanku Nurdin menjadi terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Februari 1900 putranya Tuanku Muhammad Bantee, tertangkap oleh tentara Marsose, di daerah Padang Tiji, Pidie. Tuanku Muhammad bantee kemuadian dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara.
Ia dan kedua putranya yang lain juga tertangkap oleh Belanda di daerah yang sama, namun masih sempat melakukan perlawanan yang mengejutkan pihak lawan.
H.C. Zentgraaff seorang wartawan dan pengarang terkenal asal Belanda menulis dalam dalam bukunya yang berjudul ATJEH, berikut kutipannya :
"Veltman yang terkenal dengan sebutan Tuan Pedoman, seorang perwira yang baik hati, pernah mengenal seorang wanita Aceh turunan bangsawan, namanya Pocut Meurah Intan. Wanita itu disangka menyembunyikan sebilah keiewang di dalam lipatan kainnya. Tiba-tiba ia mencabut rencongnya dan dengan meneriakkan : "Kalau begitu biarlah aku mati syahid' iapun menyerbu brigade. Anggota-anggota pasukan nampaknya kurang bemafsu untuk bertempur dengan seorang wanita yang berlaku sebagai singa betina, yang menikam kekiri dan kekanan, dan sebentar kemudian wanita itupun jatuh terbaring di tanah ". "Ia mengalami luka-luka parah; ia memperoleh dua buah tatakan di kepalanya dan dua buah di bahunya, sedang salah satu urat keningnya putus. Ia terbaring di tanah, penuh dengan darah dan lumpurlaksana setumpuk daging yang dicencang-cencang. Seorang sersan yang melihatnya, dengan perasaan penuh belas kasihan berkata kepada komandannya : Bolehkah saya meiepaskan tembakan pelepas nyawanya?, yang dibentak Veltman dengan: Apa kau sudah gila? Lalu pasukan meneruskan perjalanannya. Mereka menginginkan agar wanita itu meninggal di tangan bangsanya sendiri". Beberapa hari telah berlalu, ketika Veltman berjalan-jalan di kedai Biheu (dekat Padangtiji) disana ia mendengar bahwa Pocut Meurah Intan bukan saja masih hidup, tetapi bahkan ia mempunyai rencana hendak membunuh penduduk kampung yang telah menyerah kepada
Belanda. Untuk mengetahui hal itu yang sebenarnya, Veltman memerintahkan untuk menggeledah rumah-rumah di kampung. Setelah dicari dalam setiap rumah dalam arti
kata yang sebenarnya, ditemuilah wanita itu tubuhnya dibalut dengan bermacam-macam kain dan kelihatannya menyedihkan sekali. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi. Keadaannya lemah sebab banyak kehilangan darah dan tubuhnya menggigil;
ia mengerang karena kesakitan. Walaupun begitu ia tetap menolak bantuan dokter, lebih baik mati daripada tubuhnya dijamah seorang "khapee". Veltman yang sangat pasih berbahasa Aceh, lama berbicara dengan wanita itu dengan cara yang amat hormat, sesuai dengan kedudukannya. Akhirnya ia menerima juga bantuan serdadu itu yang ditolaknya dari seorang dokter. Orang-orang Aceh sangat sportif; serdadu-serdadu dari semua negara dan keturunan dapat sama-sama harga-menghargai, wanita itu membiarkan
dirinya dirawat oleh Veltman, dia membersihkan luka-lukanya yang berulat, kemudian membalutnya baik-baik ".

Setelah sembuh dari lukanya, kondisi tubuhnya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ia bersama putranya Tuanku Budiman kemudian dimasukkan ke penjara. Sementara, Tuanku Nurdin tetap melanjutkan perlawanan seorang diri, hingga kemudian tertangkap oleh Belanda.

Pada tanggal 06 Mei 1905 beliau bersama putranya Tuanku Nurdin dan pembantunya Pang Mahmud dibuang ke Blora, Jawa Tengah tepatnya di desa Tegal Sari. Dan pada tanggal 28 September 1937 beliau menghembuskan nafas terakhirnya di tempat yang jauh dari tanah kelahirannya. Innalillahi wa innalillahirajiun.

Demikianlah secuil ulasan tentang kehidupan Pocut Meurah Intan, semoga bermanfaat bagi para pembaca. Penulis juga masih mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca karena penulis sendiri sadar bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dari sumber maupun dari segi penulisannya. Karena kesempurnaan hanya milik Allah swt, dan kekurangan adalah milik kita manusia. Wassalam.


Dari berbagai sumber
Penulis adalah seorang mahasiswa di FKIP Sejarah Universitas Syiah Kuala

2 komentar: