PENGARUH HINDU & BUDDHA DI KEPULAUAN RIAU
A. Awal Masuk Masuk Pengaruh India di Riau
Ada beberapa teori tentang masuk dan berkembangnya
pengaruh India di Kepulauan Indonesia. Teori Waisya, diutarakan oleh
Dr.N.J.Krom, berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum
pedagang yang datang untuk berdagang ke Indonesia, bahkan diduga ada yang
menetap karena menikah dengan orang Indonesia. Teori Ksatria, diutarakan
oleh F.D.K Bosch berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah
kaum ksatria.Adanya raja-raja dari India yang datang menaklukan daerah-daerah
tertentu di Indonesia dan menghindukan penduduknya. Teori Brahmana, diutarakan
oleh J.C.Vanleur berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh
kaum Brahmana karena hanyalah kaum Brahmana yang berhak mempelajari dan
mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan Kaum Brahmana tersebut diduga karena
undangan Penguasa/Kepala Suku di Indonesia atau sengaja datang untuk
menyebarkan agama Hindu ke Indonesia.Teori Sudra ,teori ini menyatakan bahwa
agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kasta sudra.Mereka yang datang ke
Indonesia bertujuan untuk mengubah kehidupan mereka karena di India hanya hidup
sebagai budak. Teori Gabungan ,Teori ini beranggapan bahwa kaum
brahmana,bangsawan,dan para pedagang bersama-sama menyebarkan agama Hindu
sesuai dengan peranan masing-masing.
Di Kepulauan Riau lebih berkembang agama Buddha
daripada agama Hindu, karena dulu Kepulauan Riau merupakan bagian dari kerajaan
Sriwijaya. Imperium Melayu Riau adalah penyambung warisan Sriwijaya. Kedatangan
Sriwijaya yang mula-mula sejak tahun 517 s/d 683 dibawah kekuasaan Melayu,
dengan meliputi daerah Sumatera tengah dan selatan. Sriwijaya-Sailendra bermula
dari penghabisan abad ke 7 dan berakhir pada penghujung abad ke 12.
Kemaharajaan Melayu yang dimulai dari - Kerajaan Bintan-Tumasik abad 12-13 M
dan kemudian memasuki periode Melayu Riau yaitu - zaman Melaka abad 14-15 M, -
zaman Johor-Kampar abad 16-17 M, - zaman Riau-Lingga abad 18-19 M.
B. Kepulauan Riau di Bawah Kekuasaan Sriwijaya
Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan. Dalam bahasa
Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau
"gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau
"kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang
gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari
abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6
bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada
abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya
mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan di antaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa pada tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra
Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia.
Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas
Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha
sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas,
terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000
orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya. Pengunjung yang datang ke pulau
ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha
Hinayana dan Buddha
Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir
abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa
pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.
C. Peninggalan Jaman Hindu dan Buddha di Riau
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan
keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan
kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah
membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa
kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah
bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.
Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad,
kekuatan ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas
tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa
kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang
digunakan di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara. Tersebar luasnya
Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya
sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.
Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas
daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan
tarian tradisional Gending
Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada
keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama
jalan di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk
Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya
Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk
menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang.
Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games
2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan
tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the Golden Peninsula"
menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya
perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.
D. Kesimpulan
Di Kepulauan Riau lebih
berkembang agama Buddha daripada agama Hindu, karena dulu Kepulauan Riau
merupakan bagian dari kerajaan Sriwijaya. Imperium Melayu Riau adalah
penyambung warisan Sriwijaya. Kedatangan Sriwijaya yang mula-mula sejak tahun
517 s/d 683 dibawah kekuasaan Melayu, dengan meliputi daerah Sumatera tengah
dan selatan. Sriwijaya-Sailendra bermula dari penghabisan abad ke 7 dan
berakhir pada penghujung abad ke 12. Kemaharajaan Melayu yang dimulai dari -
Kerajaan Bintan-Tumasik abad 12-13 M dan kemudian memasuki periode Melayu Riau
yaitu - zaman Melaka abad 14-15 M, - zaman Johor-Kampar abad 16-17 M, - zaman
Riau-Lingga abad 18-19 M.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.wikipedia.com//sejarah-kepulauan-riau.html//
cukup bagus
BalasHapusMaaf mas . mungkin maksudnya RIAU , bukan Kepulauan Riau
BalasHapuskarna setau saya kota kota yang disebutkan diatas sama sekali tidak masuk ke kepri , melainkan Riau
Maaf mas . mungkin maksudnya RIAU , bukan Kepulauan Riau
BalasHapuskarna setau saya kota kota yang disebutkan diatas sama sekali tidak masuk ke kepri , melainkan Riau